Pages

Kamis, 10 Juni 2010

Learned Optimism – How to Change Your Mind and Your Life

Apakah Anda termasuk insan-insan yang penuh spirit optimisme, yang selalu memandang setiap peristiwa dari sudut pandang yang positif? Atau sebaliknya, termasuk pribadi yang acap digelayuti dengan rasa pesimisme dan melihat masa depan dan sekeliling Anda dengan sepercik pandangan yang buram?

Jika Anda termasuk kategori yang pertama, mungkin Anda termasuk insan yang beruntung. Riset demi riset yang telah dilakukan menunjukkan : pribadi yang memandang dunia sekelilingnya dengan rasa optimisme terbukti mampu menghasilkan kinerja yang jauh lebih baik dibanding rekannya yang acap dirudung oleh pesimisme. Fakta ini ditemukan baik dalam dunia kerja, dunia olahraga, dan juga dalam bangku sekolah.

Itulah sekelumit fakta yang diungkap dalam sebuah buku yang memikat bertajuk : Learned Optimism – How to Change Your Mind and Your Life. Buku ini ditulis oleh Martin Seligman, professor psikologi terkemuka dari University of Pennsylvania.

(Martin Seligman amat dikenal sebagai father of positive psychology, sebuah aliran psikologi yang getol mempromosikan penerapan ilmu psikologi bagi tumbuhnya insan-insan yang bermental positif, optimis dan merengkuh kebahagiaan sejati. Sebelum kehadiran Seligman, ilmu psikologi melulu berbicara tentang dunia yang kelam : tentang depresi, tentang neurosis, kelainan jiwa, dan sejenisnya. Sebelum Seligman, ilmu psikologi cenderung berangkat dari premis bahwa manusia itu “jiwanya sakit” dan ilmu psikologi hadir untuk menyembuhkannya. Psikologi Positif a la Seligman berangkat dari premis bahwa manusia itu “pada dasarnya happy” dan ilmu psikologi hadir sekedar untuk menguatkan perasaan positif itu).

Dalam buku ini, Seligman menguraikan beragam hasil penelitian mengenai dampak positif sikap optimisme bagi kinerja. Dalam salah satu contoh risetnya, Seligman menemukan para tenaga wiraniaga (salesman) yang punya mental optimis mampu membukukan penjualan yang jauh lebih banyak dibanding rekannya yang berwatak pesimis. Berangkat dari temuan ini, Seligman kemudian diminta oleh salah satu kliennya untuk menciptakan alat tes seleksi guna menyaring mana calon karyawan sales yang berwatak optimis dan layak diterima, dan mana yang berwatak pesimis dan harus di-reject.

Hasilnya sungguh mencengangkan. Kinerja para salesman yang diterima itu benar-benar impresif; dan kinerja penjualan keseluruhan perusahaan itu naik berlipat-lipat. Hanya dalam dua tahun, perusahaan itu melenting menjadi penguasa pasar (karena itu, kalau perusahaan atau kantor Anda ingin meningkatkan kinerja bisnisnya, buku ini layak dibeli…..didalamnya diuraikan bagaimana bentuk alat tes seleksi itu).

learned_optimism_book-re.jpgPertanyaan sekarang adalah ini : bagaimana kita bisa mengetahui apakah kita orang optimis atau pesimis? Dalam buku ini, Seligman menguraikan jawabannya. Menurut dia, elemen optimisme bisa ditebak dari cara kita menjelaskan kejadian (baik kejadian buruk atau baik) yang menimpa diri kita. Disini kita dikenalkan dengan dua tipe penjelasan.

Tipe penjelasan yang pertama adalah : permanence. Orang yang pesimis selalu menjelaskan peristiwa buruk yang menimpa mereka sebagai sesuatu yang cenderung permanen (misal : bos saya selalu menyalahkan saya; atau saya tidak pernah berhasil menjadi entrepreneur; atau saya tidak akan pernah bisa lulus tes asesmen; dst. ). Kalimat “selalu” atau “tidak pernah” adalah sesuatu yang permanen; dan orang pesimis cenderung suka menggunakan kalimat itu (baik secara terbuka atau dalam hati).

Sebaliknya orang optimis akan memandang kejadian buruk (bad events) yang menimpa mereka sebagai sesuatu yang bersifat temporer (misal : hari ini bos saya lagi bad mood; atau bos saya marah kalau saya terlambat menyelesaikan laporan; atau saya tidak berhasil dalam bisnis karena salah memilih lokasi toko; dst). Contoh kalimat yang bersifat temporer semacam ini membuat orang bisa melihat kejadian buruk sebagai sesuatu yang bersifat sementara — bukan permanen — dan bisa dihindari di masa mendatang.

Tipe penjelasan yang kedua adalah : pervasiveness. Orang yang pesimis cenderung memberikan penjelasan yang menggeneralisir (pervasive) atas bad events yang ada di sekeliling mereka (misal : semua bos disini bermain office politics; atau semua peraturan di perusahaan ini tidak fair; semua buku motivasi itu isinya hanya sampah; dan beragam kalimat sejenisnya). Pervasive artinya kita menggeneralisasi akan sesuatu peristiwa atau kejadian.

Sebaliknya, insan yang optimis akan memberikan penjelasan yang bernada spesifik (bukan pervasive dan generalisasi), misalnya seperti : Bos di bagian keuangan itu melakukan office politics; ada peraturan di bidang uang lembur yang tidak fair; atau buku motivasi yang sedang saya baca sekarang ini isinya tidak bagus. Penjelasan yang bersifat spesifik — dan bukan generalisasi — membuat kita bisa melihat bahwa sesungguhnya tidak semua dimensi dalam suatu kejadian/peristiwa itu merugikan. Pasti masih ada celah positif di balik beragam dimensi lainnya.

Secara keseluruhan buku Learned Optimism ini sangat menarik dan banyak berisikan panduan praktikal untuk membuat pikiran kita menjadi lebih optimis, dan memandang dunia di sekeliling kita dengan perspektif yang positif.

Seperti judul bukunya, karya Seligman ini barangkali akan benar-benar “change your mind and your life”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar